Retinophaty Of Prematurity

Kontributor : Hadya Gorga, Juan Habli, Meishinta Fitri ( dokter muda bagian mata universitas Andalas)


BAB I
PENDAHULUAN
  
1.1 Latar Belakang 
Retinopati prematuritas (ROP) digambarkan untuk pertama kalinya oleh Terry pada tahun 1940 sebagai Retrolental Fibroplasia, yaitu penyakit / gangguan perkembangan pembuluh darah retina pada bayi yang lahir prematur, hal tersebut terkait dengan penyediaan oksigen yang tinggi dan tidak terkendali.  Sebanyak 7000 anak di Amerika Serikat dinyatakan buta akibat ROP. Lebih dari 50.000 anak di seluruh dunia setiap tahunnya dibutakan oleh ROP. Karenanya penting untuk memahami patogenesis kondisi ini. Hubungan antara umur kehamilan yang rendah, hambatan pertumbuhan, faktor pertumbuhan tergantung pada oksigen, dan hiperoksia harus lebih jelas dipahami.1
ROP terjadi akibat kepekaan pembuluh darah retina di masa perkembangan terhadap oksigen konsentrasi tinggi. Pajanan oksigen konsentrasi tinggi (hiperoksia) mengakibatkan tingginya tekanan oksigen retina sehingga memperlambat perkembangan pembuluh darah retina sehingga menimbulkan daerah iskemia pada retina.2 
Retinopathy of Prematurity (ROP) merupakan penyebab kebutaan anak secara globalkhususnya Negara maju.  Pada Negara berkembang terutama di daerah perkotaan yang telah memiliki fasilitas pelayanan neonates yang memadai ROP muncul sebagai salah satu penyebab kebutaan sebagai dampak dari meningkatnya angka harapan hidup dari anak lahir premature dan bayi berat lahir rendah (BBLR). Dalam studi yang berbasis di pulau jawa diketahui prevalensi ROP adalah 1,1 dari seluruh penyebab kebutaan3
1.2 Batasan Masalah
—-Referat ini membahas mengenai “Retinopathy of Prematurity” yang terdiri dari definisi, etiologi, patogenesis, klasifikasi, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosisnya.
—-
1.3 Metode Penulisan
—-Penulisan referat ini berdasarkan metode tinjauan pustaka yang mengacu kepada beberapa literatur.

1.4  Tujuan
Tujuan penulisan referat yang berjudul Retinopati prematuritas adalah untuk memperoleh informasi ilmiah mengenai Retinopati pada bayi prematur yang meliputi deskripsi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis dan penatalaksanaan.



BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Etiologi dan faktor risiko
Retina merupakan jaringan yang unik. Pembuluh darah retina mulai terbentuk pada 3 bulan setelah konsepsi dan menjadi lengkap pada waktu kelahiran normal. Jika bayi lahir sebelum waktunya, hal ini dapat mengganggu perkembangan mata. Pertumbuhan pembuluh darah mungkin saja terhenti atau tumbuh abnormal misalnya rapuh dan bocor, yang dapat menimbulkan perdarahan pada mata. Jaringan parut dapat terbentuk dan menarik retina terlepas dari permukaan dalam mata. Pada keadaan yang berat akan mengakibatkan hilangnya penglihatan.11
Dahulu, pemberian oksigen secara rutin pada bayi prematur menstimulasi pertumbuhan pembuluh abnormal. Dewasa ini, risiko terjadinya ROP adalah tergantung derajat prematuritasnya.-Khususnya, semua bayi kurang dari 30 minggu masa gestasi atau dengan berat badan lahir kurang dari 3 pon perlu pemeriksaan lebih lanjut.11
-Berikut ini adalah beberapa faktor risiko terjadinya ROP antara lain:

a. Bayi lahir < 32 minggu masa gestasi
b. Asupan oksigen yang tinggi
Peran oksigen sebagai faktor risiko RPP telah mulai diteliti semenjak era 1950-an diawali oleh penelitian kolaboratif 18 rumah sakit yang dikoordinasi dokte V.E. Kinsey yang kemudian hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian eksperimental lain. Efek primer oksigen terhadap pembuluh darah retina yang belum matang pada binatang percobaan adalah terjadinya vasokonstriksi retina. Apabila konstriksi ini bertahan akan diikuti oleh penutupan pembuluh darah pada berbagai tingkat, kemudian akan menimbulkan kerusakan endotel dan akan menyebabkan penutupan sempurna pembuluh darah yang belum matang tersebut. Pembuluh darah baru akan terbentuk pada daerah yang mengalami kerusakan kapiler retina tersebut. Pembuluh darah baru ini akan menyebar di permukaan retina dan berkembang sampai ke korpus
vitreus. 11
Penelitian dengan binatang percobaan yang diberi oksigen konsentrasi tinggi menunjukkan hanya pembuluh darah yang belum matanglah yang sensitive terhadap oksigen, semakin tidak matang pembuluh darahnya makin besar risikonya terhadap pemberian oksigen, sehingga bayi dengan pembuluh darah retina yang sudah matang / pembuluh darah yang sudah penuh di retina tidak memberi risiko terhadap RPP. Atas dasar itulah predileksi RPP di bagian temporal retina dapat diterangkan. Vasokonstriksi awal pada pembuluh darah retina yang imatur terjadi dalam beberapa menit pertama setelah paparan terhadap oksigen, ukuran pembuluh darah berkurang sampai 50% , namun kemudian kembali ke ukuran normal. Oksigen yang dilakukan
terus menerus 4 – 6 jam selama akan menimbulkan vasospasme bertahap sampai pembuluh darah tersebut mengecil sampai 80%. Sampai pada tahap ini vasokonstriksi pembuluh darah retina masih bersifat reversibel, namun apabila keadaan ini bertahan (misalnya pemberian oksigen sampai 10 – 15 jam) beberapa pembuluh darah perifer retina yang belum matur tersebut akan mengalami penutupan permanen11
c. Berat badan lahir < 1500 gram
d. Kadar karbon dioksida yang tinggi
Retensi CO2 dapat meningkatkan efek kerusakan pembuluh darah retina bayi prematur oleh terapi suplementasi oksigen.7,16 Patz mengutip dari Baner dan Widmayer4 melaporkan bahwa retensi CO2 adalah faktor tunggal terpenting yang membedakan insiden RPP pada penelitiannya pada bayi dengan berat badan lahir < 1000 gram, namun Biglan dan Brown tidak melihat pengaruh retensi CO2 terhadap insiden RPP dan malah menemukan bayi dengan RPP tingkat lanjut memiliki PCO2 serum yang lebih rendah dari kelompok kontrol.11

e. Apnea
f. Anemia dan Transfusi darah
Beberapa peneliti melaporkan transfusi darah atau anemia sebagai faktor risiko RPP, namun laporan ini masih diperdebatkan. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa anemia adalah faktor risiko untuk terjadinya RPP sedangkan laporan lain mengatakan hematokrit yang tinggi dan transfusi berulang pada kejadian anemia yang merupakan faktor independen terjadinya kasus RPP.8 Sacks, dkk. pada penelitian 90 bayi dengan BB £ 1250 gram (Pennsylvania, 1980) menemukan hubungan yang bermakna antara kejadian RPP dengan transfusi tukar. Clark, dkk. menemukan hubungan yang bermakna antara insiden RPP dengan transfusi darah pada penelitian 58 bayi dengan BB £ 1000 gram dan 70 bayi dengan berat lahir rendah yang mendapatkan terapi oksigen dengan berbagai variasi berat badan. 11
Anemia pada BBLR yang kemudian ditangani dengan pemberian transfusi darah berulang akan menyebabkan bayi menerima sejumlah darah dari orang dewasa (donor dewasa). Masuknya darah dari orang dewasa ini meningkatkan risiko RPP yang dihubungkan dengan peningkatan penumpukan zat besi pada bayi-bayi prematur ini. Hal ini akan meningkatkan aktivitas anti oksidan yang terkait dengan penumpukan zat besi.7,20 Brooks dkk, pada penelitian 50 bayi dengan BB £ 1250 gram tidak menemukan perbedaan insiden RPP antara kelompok bayi yang diberikan transfusi untuk mengatasi anemia (24 bayi) dengan kelompok bayi yang diberikan transfusi untuk mempertahankan kadar hematokrit >40 % (26 bayi)
g. Defisiensi vit e. 11
Flynn mengutip dari Owens dan Owens melaporkan peran vitamin E dalam mencegah kejadian RPP pada kelompok bayi prematur. Pemberian 50 mg vitamin E secara oral tiga kali sehari bersamaan dengan dimulainya pemberian makanan peroral diketahui dapat menekan insiden RPP. Penelitian ini dilakuk pada bayi-bayi dengan BB £ 1360 gram.7,15 Payne mengutip dari Kretzer dan Hittner, memperlihatkan adanya perubahan dasar pada struktur sel spindel retina bayi-bayi prematur berisiko tinggi. Sel spindel retina bayi prematur yang mendapat oksigen secara terus menerus akibat distres pernafasan memperlihatkan peningkatan gap junction, diyakini bahwa peningkatan Gap Junction ini mengganggu proses pembentukan pembuluh darah yang normal.
 Pada bayi prematur yang mendapat vitamin E peningkatan gap junction dapat ditekan.Vitamin E secara invitro merupakan anti oksidan lipofilik yang poten, sedangkan kadar vitamin ini pada bayi prematur lebih rendah sehingga keterkaitan ini menjadi dasar asumsi faktor risiko RPP. Namun sulit untuk dibuktikan bahwa peningkatan kadar vitamin E di dalam serum bayi akan dapat mencegah kejadian RPP. Pemberian vitamin E pada bayi premature diketahui memiliki beberapa kemungkinan efek samping seperti enterokolitis nekrotikans, sepsis, perdarahan intra ventrikular, perdarahan retina, perubahan respons imun dan penekanan aktifitas
bakteriostatik sel leukosit
h. Cahaya Terang11
Cahaya terang yang mengenai mata bayi premature diduga menimbulkan pengaruh untuk terjadinya RPP, namun masih terdapat perbedaan pendapat terhadap mekanisme terjadinya ROP dalam hubungan dengan paparan cahaya terang pada tempat perawatan bayi intensif.7,16 Glass, melaporkan bahwa bayi premature yang dirawat di ruangan dengan cahaya terang benderang 32% lebih besar peluangnya terkena RPP dibanding mata bayi yang mendapat perlindungan dari paparan cahaya, meskipun hasil ini tidak secara kuat menunjuk kepada pengaruh cahaya pada retinopati pada prematurias, tapi Glass menyatakan bahwa tidak ada satupun penelitian yang menyatakan cahaya fluoresen aman bagi mata bayi. Reynold, dkk.pada penelitian 188 bayi prematur yang mendapatkan paparan cahaya terkontrol dengan cara memberikan pencahayaan ruangan memakai lampu yang berputar (hidup-mati), dengan kontrolnya bayi yang terpapar cahaya terang terus menerus, mendapatkan hasil bahwa pengurangan intensitas cahaya ini (399 Lux untuk kelompok studi dan 447 Lux untuk kelompok kontrol) tidak mengubah insiden RPP (53% kelompok studi dan 52% kelompok kontrol). Hasil yang didapat pada penelitian ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan intensitas paparan yang tidak terlalu besar.
i. Septikemia11
Beberapa penulis melaporkan septikemia sebagai salah satu faktor risiko untuk terjadinya RPP.4 Gunn, dkk. pada penelitian 150 bayi prematur dengan berat badan £ 1500 gr dan mendapatkan suplementasi oksigen, melaporkan sepsis sebagai faktor yang sangat kuat hubungannya dengan kejadian RPP. Mittal, dkk,melaporkan bahwa sepsis oleh kandida adalah faktor risiko yang berdiri sendiri dalam memperberat kejadian RPP dan menyebabkan bayi prematur tersebut membutuhkan terapi bedah laser.
j. Faktor Risiko Lain11
Beberapa keadaan juga dilaporkan sebagai faktor risiko untuk timbulnya RPP, namun karena belum banyak peneliti lain yang juga menilai faktor yang sama, perannya sebagai faktor risiko atau penolakan peran faktor-faktor tersebut belum begitu jelas. Termasuk disini seperti sianosis, apne, ventilasi mekanis, perdarahan intraventrikular, kejang, PDA, preparat xanthine, preparat indometasin, asidosis, hipoksia intrauterin, distres pernafasan.4,7,16 Dari semua faktor risiko yang sudah diteliti tampak adanya perbedaan pendapat di antara para peneliti tentang peran masing-masing faktor risiko tersebut untuk terjadinya RPP, sehingga masih diperlukan banyak penelitian untuk menjelaskan potensi risiko masing-masing faktor tersebut secara terpisah (independent).
k. Maternal, pada masa prenatal: kebiasaan merokok, diabetes, preeklamsia

2.4  Patofisiologi 
ROP merupakan kelainan vascular retina imatur. Pembuluh darah retina belum berkembang penuh sampai sekitar kehamilan 34-36 minggu. Semakin bayi kurang bulan, semakin besar resiko menglami ROP. Vasokontriksi arteri retina terjadi sebagai respon terhadap peningkatan tekanan oksigen arteri (PaO2), vasokontriksi ini merupakan respon protektif dan tidak mebahayakan bagi retina yang sudah berkembang penuh, tetapi hipoperfusi dan hipoksemia setempat pada retina dengan vaskularisasi tidak lengkap merangsang proliferasi pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi) sebagai upaya mensuplai daerah yang kurang mendapat perfusi. Perdarahan selanjutnya ke dalam badan kaca dan retina menyebabkan proliferasi fibrosa, retraksi parut dan pada kasus terburuk lepasnya retina dan kebutaan.6
 Pajanan oksigen konsentrasi tinggi (hiperoksia) mengakibatkan tingginya tekanan oksigen retina sehingga memperlambat perkembangan pembuluh darah retina (vaskulogenesis) Hal ini menimbulkan daerah iskemia pada retina. Pada kondisi normal, retina mempunyai kepekaan terhadap kerusakan oksidatif yang disebahkan tiga hal, yaitu 
1. berlimpahnya substrat untuk reaksi oksidatif dalam bentuk asam lemah takjenuh ganda 
 2.retina memproses cahaya sedangkan cahaya merupakan  inisiator pembentukan oksigen radikal hebas, dan  
3. adanya aliran oksigen lintas membran yang relatif tinggi.  
Pada bayi prematur, kepekaan retina terhadap stres oksidatif disebabkan oleh (1) retina mempnnyai kepekaan yang tinggi terhadap reaksi kimia yang mampu merambatkan kerusakan oksidatif sesuai jaringan yang ditunmkan, (2) bayi prematur mengalami hiperoksia tidak hanya diakibatkan oleh pembahan konsentrasi oksigen di utrerus ke udara behas, tetapi juga akibat peningkatan oksigen inspirasi, dan (3) bayi prematur tidak mempunyai pengganti komponen antioksidan retina. Retinopati prematur merupakan manifestasi alamiah akibat toksisitas pemherian oksigen pada bayi premature.5 
Retinopati prematuritas terutama terjadi pada bayi dengan Berat Badan Lahir Amat Sangat Rendah (BBLASR). Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah, usia gestasi yang rendah, dan penyakit penyerta yang berat ( misalnya respiratory distress syndrome, displasia bronkopulmoner, sepsis) merupakan faktor-faktor yang terkait. Bayi yang lebih kecil, lebih tidak sehat, dan lebih immatur memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk menderita penyakit ini.10
 Patogenesis  
Prematuritas mengakibatkan terhentinya proses maturasi dari pembuluh retina normal. Terdapat dua teori yang menjelaskan patogenesis ROP. Sel-sel spindel mesenkimal, yang terpapar kondisi hiperoksia, akan mengalami gap junction. Gap junction ini mengganggu pembentukan pembuluh darah yang normal, mencetuskan terjadinya respon neovaskular, sebagaimana dilaporkan oleh Kretzer dan Hittner. menjelaskan akan adanya dua fase pada proses terjadinya ROP. Fase pertama, fase hiperoksik, menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pembuluh retina dan destruksi sel-sel endotel kapiler yang irreversibel. Keadaan hyperoxia-vasocessation ini dikenal sebagai stadium I dari retinopati prematuritas. Seiring area ini mengalami iskemik, faktor angiogenik, seperti  vascular endothelial growth factor (VEGF), dibentuk oleh sel-sel spindel mesenkimal dan retina yang iskemik untuk membuat vaskularisasi yang baru. Vaskularisasi baru ini bersifat immatur dan tidak berespon terhadap regulasi yang normal. Segera setelah itu, nutrisi dan oksigen dapat dikirim ke retina melalui difusi dari kapiler-kapiler yang berada pada lapisan choroid. Retina terus tumbuh semakin tebal dan akhirnya melebihi area yang dapat disuplai oleh pembuluhnya. Seiring waktu, terjadilah hipoksia retinal yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya pertumbuhan pembuluh darah yang berlebihan; keadaan hypoxia-vasoproliferation ini dikenal sebagai ROP stadium II.8 


Gambar 2. : Patogenesis Retinopathy of prematurity (Elizabeth MH, Penn JS)


 2.5 Klasifikasi12
Sistem klasifikasi ini membagi lokasi penyakit ini dalam zona-zona pada retina (1, 2, dan 3), penyebaran penyakit berdasarkan arah jarum jam (1-12), dan tingkat keparahan penyakit dalam stadium (0-5). Dalam anamnesis dari bayi prematur, harus mencakup hal-hal berikut ini : 
a. Usia gestasi saat lahir, khususnya bila lebih kurang dari 32 minggu 
b. Berat badan lahir kurang dari 1500 gr, khususnya yang kurang dari 1250 gr 
 Faktor risiko lainnya yang mungkin ( misalnya terapi oksigen, hipoksemia, hipercarbia, dan penyakit penyerta lainnya) Pemeriksaan Fisik. ROP dikategorisasikan dalam zona-zona, dengan stadium yang menggambarkan tingkat keparahan penyakit. Semakin kecil dan semakin muda usia bayi saat lahir, semakin besar kemungkinan penyakit ini mengenai zona sentral dengan stadium lanjut.
Pembagian zona.  

Gambar 2. : zona pada Retinopathy of prematurity 12


a. Zona 1 
Zona 1 adalah yang paling labil. Pusat dari zona 1 adalah nervus optikus. Area ini memanjang dua kali jarak dari saraf optik ke makula dalam bentuk lingkaran. ROP yang terletak pada zona 1 (bahkan pada stadium 1, imatur) dianggap kondisi yang kritikal dan harus dimonitor dengan ketat.  Area ini sangat kecil dan perubahan pada area dapat terjadi dengan sangat cepat, kadangkala dalam hitungan hari. Tanda utama dari perburukan penyakit ini bukanlah ditemukannya neovaskularisasi tetapi dengan ditemukan adanya pembuluh darah yang mengalami peningkatan dilatasi. Vaskularisasi retina tampak meningkat mungkin akibat meningkatnya shunting  ateriovena.    
b. Zona 2 
Zona 2 adalah area melingkar yang mengelilingi zona 1 dengan nasal ora serrata sebagai batas nasal. ROP pada zona 2 dapat berkembang dengan cepat namun biasanya didahului dengan tanda bahaya (warning sign) yang memperkirakan terjadinya perburukan dalam 1-2 minggu. Tanda bahaya tersebut antara lain : (1) tampak vaskularisasi yang meningkat pada ridge (percabangan vaskular meningkat); biasanya merupakan tanda bahwa penyakit ini mulai agresif. (2) Dilatasi vaskular yang meningkat. (3) tampak tanda ‘hot dog’ pada ridge; merupakan penebalan vaskular pada ridge; hal ini biasanya terlihat di zona posterior 2 (batas zona 1) dan merupakan indikator prognosis yang buruk. 
c. Zona 3 
Zona 3 adalah bentuk bulan sabit yang tidak dicakup zona 2 pada bagian temporal.  Pada zona ini jarang terjadi penyakit yang agresif. Biasanya, zona ini mengalami vaskularisasi lambat dan membutuhkan evaluasi dalam setiap beberapa minggu.Banyak bayi yang tampak memiliki penyakit pada zona 3 dengan garis demarkasi dan retina yang nonvaskular. Kondisi ini ditemukan pada balita dan dapat dipertimbangkan sebagai penyakit sikatrisial. Tidak ditemukan adanya penyakit sequelae dari zona ini.
Stadium 12
1. Stadium 0 Bentuk yang paling ringan dari ROP. Merupakan vaskularisasi retina yang imatur. Tidak tampak adanya demarkasi retina yang jelas antara retina yang tervaskularisasi dengan nonvaskularisasi. Hanya dapat ditentukan perkiraan perbatasan pada pemeriksaan. Pada zona 1, mungkin ditemukan vitreous yang berkabut, dengan saraf optik sebagai satu-satunya landmark.Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang setiap minggu. Pada zona 2, sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu. Pada zona 3, pemeriksaan setiap 3-4 minggu cukup memadai.

2. Stadium 1 Ditemukan garis demarkasi tipis diantara area vaskular dan avaskular pada retina. Garis ini tidak memiliki ketebalan. Pada zona 1, tampak sebagai garis tipis dan mendatar (biasanya pertama kali pada nasal). Tidak ada elevasi pada retina avaskular. Pembuluh retina tampak halus, tipis, dan supel. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap minggu. Pada zona 2, sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu Pada zona 3, pemeriksaan dilakukan setiap 3-4 minggu 3. 

Gambar 2. : stadium 1; demarcation line has no height ( AAO pediatric)

3. Stadium 2 Tampak ridge luas dan tebal yang memisahkan area vaskular dan avaskular retina. Pada zona  1, apabila ada sedikit saja tanda kemerahan pada ridge, ini merupakan tanda bahaya. Apabila terlihat adanya pembesaran pembuluh, penyakit dapat dipertimbangkan telah memburuk dan harus ditatalaksana dalam 72 jam. Pada zona 2, apabila tidak ditemukan perubahan vaskular dan tidak terjadi pembesaran ridge, pemeriksaan mata sebaiknya dilakukan tiap 2 minggu.  Pada zona 3, pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali ditemukan adanya pembentukan arkade vaskular.

Gambar 2. : demartion line height, widht and creating a ridge (AAO pedia)

4. Stadium 3 Dapat ditemukan adanya proliferasi fibrovaskular ekstraretinal (neovaskularisasi) pada ridge, pada permukaan posterior ridge atau anterior dari rongga vitreous.  Pada zona 1, apabila ditemukan adanya neovaskularisasi, maka kondisi ini merupakan kondisi yang serius dan membutuhkan terapi. Pada zona 2,  prethreshold adalah bila terdapat stadium 3 dengan penyakit plus. Pada zona 3, pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali bila ditemukan adanya pembentukan arkade vaskular. 

ambar 2. : Satium 3; Ridge with extraretiinal fibrovascular proliferation. ( AAO pedi)

5. Stadium 4 Stadium ini adalah ablasio retina subtotal yang berawal pada ridge. Retina tertarik ke anterior ke dalam vitreous oleh ridge fibrovaskular. 
a. Stadium 4A : tidak mengenai fovea
b. Stadium 4B : mengenai fovea

Gambar 2. : stadium 4; Subtotal retinal detachment.  (AAO pedi)
6. Stadium 5 Stadium ini adalah ablasio retina total berbentuk seperti corong (funnel). 
a. Stadium 5A : corong terbuka 
b. Stadium 5B : corong tertutup  
Prosedur Pemeriksaan
Standar baku untuk mendiagnosa ROP adalah pemeriksaan retinal dengan menggunakan oftalmoskopi binokular indirek. Dibutuhkan pemeriksaan dengan dilatasi fundus dan depresi skleral. Instrumen yang digunakan adalahs:  
1) Spekulum Sauer (untuk menjaga mata tetap dalam keadaan terbuka),  
2) Depresor skleral Flynn (untuk merotasi dan mendepresi mata),  
3) Lensa 28 dioptri (untuk mengidentifikasi zona dengan lebih akurat).  Bagian pertama dari pemeriksaan adalah pemeriksaan eksternal, identifikasi rubeosis retina, bila ada. Tahap selanjutnya adalah pemeriksaan pada kutub posterior, untuk mengidentifikasi adanya penyakit plus. Mata dirotasikan untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya penyakit zona 1. Apabila pembuluh nasal tidak terletak pada nasal ora serrata, temuan ini dinyatakan masih berada pada zona 2. Apabila pembuluh nasal telah mencapai nasal ora serrata, maka mata berada pada zona 3.




BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
  Retinopati prematuritas (ROP) digambarkan untuk pertama kalinya oleh Terry pada tahun 1940 sebagai Retrolental Fibroplasia, yaitu penyakit / gangguan perkembangan pembuluh darah retina pada bayi yang lahir prematur, hal tersebut terkait dengan penyediaan oksigen yang tinggi dan tidak terkendali. Retinopati prematuritas penyebab utama kebutaan pada hayi berat lahir rendah/ berat badan lahir sangat rendah. Retinopati prematuritas terjadi akibat kepekaan pembuluh darah retina di masa perkembangan terhadap oksigen konsentrasi tinggi. Pajanan oksigen konsentrasi tinggi (hiperoksia) mengakibatkan tingginya tekanan oksigen retina sehingga memperlambat perkembangan pembuluh darah retina sehingga menimbulkan daerah iskemia pada retina Prematuritas mengakibatkan terhentinya proses maturasi dari pembuluh retina normal. 
Terdapat dua teori yang menjelaskan patogenesis ROP. Sel-sel spindel mesenkimal, yang terpapar kondisi hiperoksia, akan mengalami gap junction. Gap junction ini mengganggu pembentukan pembuluh darah yang normal, mencetuskan terjadinya respon neovaskular Terapi medis untuk retinopati prematuritas (ROP) terdiri dari screening oftalmologis terhadap bayi-bayi yang memiliki faktor risiko. Satu-satunya pencegahan yang benar-benar bermakna adalah pencegahan kelahiran bayi prematur. Dapat dicapai dengan perawatan antenatal yang baik. Semakin matur bayi yang lahir, semakin kecil kemungkinan bayi tersebut menderita ROP

REFERENSI 

1.Tejiro B,2006. Retinopathy of prematurity. Dalam: arch soc esp oftalmol; 81:129-130. 
2.Gargely K,2010. Retinopathy of prematurity-epidemics, incidence, prevalence, blindness. Faculty of medicine, comenicus university Bratistava, Slovakia 
3. Sitorus RS, eliminasi kebutaan anak di Indonesia sejalan dengan Milenium development Goal dan vision 2020 : konsep dan strategi, FK UI, 2010
6.Benson C Ralph. Retinophati prematuritas. Dalam: Obsteri dan Ginekologi. Jakarta: EGC,2004. 
7.Bashour M. Retinopathy of Prematurity. Emedicine. November 3, 2008. Cited November 16 , 2010. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis
 8.Kretzer FL, Hittner HM. Retinopathy of prematurity: clinical implications of retinal development. Arch Dis Child. Oct 1988;63(10 Spec No):1151-67. 
 9.Ali farrukh. Retinophaty of prematurity. Department of ophthalmology arrow park hospital.2010 
10.Anjli Hussain, 2004. Management of retinopathy in a tertiary care center. Dalam: Journal of the Bombay ophtamologists association vol.3 no.1
11. Nasution A , faktor-faktor risiko untuk retinopati pada prematuritas, Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001: 152 – 156
12. Amreican Academy of ophthalmology,  Pediatric Ophtalmology and strabismus, 2011, San Fransisco.
13. Elizabeth MH, Penn JS, Mechanisms and Management of Retinopathy of Prematurity, 2012, n engl j med 367;26


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PATOFISIOLOGI SINDROM METABOLIK

Clinical Science Session 1

BELAJAR MANDIRI 3 : Nyeri ( part 1 mekanisme nyeri)